Senin, 30 Desember 2013

MICROFINANCE





PENGERTIAN MICROFINANCE 

Microfinance berasal dari kata "micro" yang berarti micro enterprises (usaha mikro /usaha kecil) dan "finance" yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti "pembiayaan". dari kedua istilah tersebut dapat diartikan bahwa microfinance berarti pembiayaan untuk usaha mikro. Usaha mikro banyak yang mengartikannya, menurut penulis usaha mikro adalah suatu bisnis yang dijalankan dengan skala mikro. skala mikro adalah mereka yang memiliki usaha dengan volume usaha (omset) tidak lebih dari Rp. 100juta pertahun dan modal kerja yang dimiliki tidak lebih dari Rp.25juta, dengan penghasilan tidak lebih dari $2 perhari. ciri-ciri yang lain adalah biasanya tidak memiliki legalitas usaha, sehingga tidak terakses oleh BANK.


Microfinance merupakan salah industri keuangan baru yang tumbuh pesat dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Pada awalnya di era tahun 1960-an, microfinance termasuk bagian dari program pembangunan yang menyalurkan kredit bersubsidi untuk menunjang pembangunan pertanian, penanggulangan kelaparan dan kemiskinan di wilayah pedesaan khususnya di negara-negara berkembang. Kini microfinance telah menjadi suatu sistem intermediasi keuangan yang terintegrasi dengan sektor keuangan modern. 
Apa itu Microfinance?
Microfinance merupakan pembiayaan dengan skala mikro. Makna mikro dalam dalam konteks ini berkaitan dengan nilai transaksi dan kapasitas keuangan nasabah yang umumnya masuk ke dalam kategori miskin seperti yang dirumuskan oleh UNCDF, CGAP dan ADB “microfinance refers to loans, savings, insurance, transfer services and other financial products targeted at low-income clients”.  Sedangkan difinisi yang lebih rinci dirumuskan oleh Marguerite Robinson dalam bukunya yang cukup fenomenal The Microfinance Revolution Volume I & II yakni “microfinance is small-scale financial services provided to people who farm or fish or herd; who operate small or microenterprises where goods are produced, recycled, repaired, or traded; who provide services; who work for wages or commissions; who gain income from renting out small amounts of land, vehicles, draft animals, or machinery and tools; and to other individuals and groups at the local levels of developing countries, both rural and urban”.

Dari berbagai pengertian tersebut di atas bahwa microfinance mengandung tiga elemen utama yang membedakannya dengan sistem intermediasi keuangan lainnya seperti perbankan yaitu:

1. Batasan transaksi
Nilai transaksi microfinance tidak bersifat universal artinya tidak ada konvensi internasional yang menetapkan nilai transaksi yang masuk kategori kecil atau mikro. Di Indonesia, nilai transaksi microfinance hanya dirumuskan pada batasan kredit mikro saja yakni maksimum Rp50 juta. Sedangkan untuk transaksi keuangan lainnya seperti simpanan, asuransi, remittance, sistem pembayaran tidak ada pengaturan yang jelas.

2. Segment Pasar
Microfinance memiliki keunikan dalam melayani masyarakat yakni terfokus pada masyarakat miskin yang terbagi menjadi empat kelompok:
Kelompok I yakni the poorest of the poor. Penduduk miskin yang tidak memiliki sumber pendapatan karena faktor usia, sakit, cacat fisik sehingga tidak memiliki pendapatan.
Kelompok II yaitu labouring poor. Kelompok miskin yang bekerja sebagai buruh dengan penghasilan sangat terbatas dan bersifat tidak tetap atau musiman yang umumnya bekerja di sektor pertanian atau sektor-sektor lain yang bersifat padat karya.
Kelompok III adalah self-employed poor. Merupakan penduduk miskin yang berpenghasilan relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dengan bekerja di sektor informal.
Kelompok IV ialah enconomically active poor. Golongan yang telah memiliki kekuatan ekonomi dengan sumber pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dan memiliki surplus income.

3. Tujuan
State of practice microfinance sekarang tidak terlepas dari sejarah kelahirannya yaitu untuk menanggulangi masalah-masalah yang berkaitan dengan kemiskinan. Selanjutnya pengembangan microfinance menjadi salah satu agenda untuk mencapai The Millennium Development Goals untuk mengurangi jumlah penduduk dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. Hal ini kemudian diperkuat dengan Resolusi PBB No.A/58/488 tentang the International Year of Microcredit 2005 yang mendorong microfinance sebagai sektor keuangan yang inklusif.

Mengapa Microfinance?
Ketersediaan sumber daya finansial yang cukup pada saat yang tepat merupakan salah satu faktor penting bagi individu atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi kondisi ideal tersebut hampir tidak mungkin terjadi pada masyarakat miskin karena terbatasnya resource sehingga memerlukan adanya intervensi keuangan untuk menutup gap yang ada. Ada lima pola intervensi microfinanc, misalnya dalam pembiyaan yakni:

1. Income smoothing
Menutup kebutuhan keuangan karena adanya gap antara pendapatan dan pengeluaran karena faktor musim atau siklus upahan. Umumnya petani membutuhkan dana pada masa tanam untuk membeli sarana produksi dan memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga. Hal yang sama juga terjadi pada para pekerja atau buruh yang menerima upah secara berkala.

2. Cash flow injection
Mengatasi aliran kas (terjadi kesenjangan antara aktiva lancar dan pasiva lancar) yang terutama bagi usaha mikro yang menerapkan sistem pembayaran kredit atau karena ada kebutuhan strategis misalnya untuk memenuhi kontrak bisnis yang bersifat sesaat.

3. Emergency relief
Merupakan asistensi keuangan untuk mengatasi kebutuhan mendadak karena adanya musibah keluarga, sakit dan bencana alam, kehilangan pekerjaan, biaya pendidikan dan kebutuhan jangka pendek lainnya karena umumnya masyarakat miskin tidak memiliki tabungan atau asuransi.

4. Asset building
Menyediakan dana yang bersifat jangka panjang untuk membeli aktiva tetap (peralatan rumah tangga), kendaraan, hewan ternak, properti , dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau dapat dikonversikan kembali menjadi uang.
Secara empiris, efektivitas dari intervensi microfinance memberikan dampak yang positif terhadap rumah tangga. Secara umum mekanisme dampak tersebut dapat dijelaskan dan digambarkan sebagai berikut:

Pertama, akses keuangan yang berkelanjutan merupakan faktor produksi penting dalam kegiatan ekonomi masyarakat miskin yang dalam hal ini menghasilkan double impact yaitu pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Adanya pendapatan yang stabil akan mempermudah untuk mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari, pakaian, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan tempat tinggal yang layak, kendaraan, barang berharga, dan sebagainya. Dalam jangka panjang, akan mendorong terbentuknya rumah tangga yang mandiri dan sejahtera.

Kedua, adanya jaminan pembiayaan mendorong pengusaha mikro mengambil keputusan bisnis jangka panjang dan melakukan investasi yang menguntungkan.

Kehadiran lembaga microfinance akan meningkatkan awareness dan mendorong masyarakat miskin menggunakan instrumen moneter seperti tabungan, sistem pembayaran, transfer uang dan asuransi sehingga meningkatkan likuiditas dan dinamika ekonomi lokal.

Ketiga, efektivitas intervensi microfinance yang dijelaskan sebelumnya telah mendorong berbagai inisiatif mengembangkan produk dan jasa keuangan lainnya untuk melayani masyarakat miskin, antara lain housing microfinance.
Siapa Microfinance?
Lembaga yang mengelola program microfinance dapat bersifat formal, semi formal dan informal. Sedangkan mekanisme intermediasi microfinance dikelompokkan menjadi dua pendekatan yakni minimalist yang mengadopsi sistem perbankan dan integrated menggunakan kombinasi antara intermediasi keuangan dan intermediasi sosial dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Eksistensi microfinance di lingkungan masyarakat miskin cukup mengakar yang tercermin dari banyaknya jumlah nasabah dan cakupan jaringan kerja. Data yang dihimpun dari berbagai sumber memperlihatkan bahwa jaringan microfinance telah mencapai 55 ribu kantor yang menyalurkan pinjaman sebanyak Rp28 triliun kepada sekitar 35 juta nasabah serta berhasil menghimpun dana sebesar Rp38 triliun yang tercatat dalam 36 juta rekening. Struktur microfinance Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu formal, semiformal dan informal.

Kelompok formal microfinance lembaga keuangan yang diatur oleh UU Perbankan, meliputi bank umum yang memiliki unit bisnis microfinance dan BPR. Saat ini ada tiga bank umum yang secara khusus memiliki eksposur di microfinance yakni BRI-Unit dengan sistem BRI-Unit, Bank Danamon yang mengembangkan Danamon Simpan Pinjam (DSP) dan Bank Mandiri melalui Microbanking Unit. Namun demikian, ada beberapa bank yang juga melayani pasar microfinance secara tidak langsung, misalnya melalui linkage program dengan BPR atau LKM. Lembaga formal microfinance melayani masyarakat miskin yang masuk dalam kelompok III dan IV dengan menawarkan produk dan jasa perbankan seperti kredit untuk berbagai keperluan, simpanan dalam bentuk giro, deposito dan tabungan, transfer uang, sistem pembayaran dan jasa keuangan lainnya. Namun untuk BPR diberlakukan batasan operasi antara lain tidak diperkenankan melayani produk giro karena tidak termasuk dalam sistem kliring perbankan dan melakukan transaksi valuta asing. Prinsip operasional dan pola interaksi dengan nasabah yang digunakan oleh kelompok ini cenderung bersifat formal dengan menerapkan prinsip-prinsip perbankan umum sehingga daya penetrasinya hanya terbatas pada nasabah yang bankable.

Semiformal microfinance adalah lembaga keuangan yang diatur oleh pemerintah melalui PP atau Perda. Bentuk dan sistem operasional kelompok ini cukup bervariasi seperti Perum Pegadaian, Badan Kredit Desa (BKD), Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan konsep koperasi, Lembaga Dana Dan Kredit Pedesaan (LDKP), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK) dan Baitul Maal Wa’atamwil (BMT) dan LKM yang terdaftar lainnya. Pasar utama semiformal microfinance adalah penduduk miskin dengan kategori kelompok II dan III serta sebagian kecil yang masuk dalam kelompok IV. Produk keuangan yang ditawarkan adalah kredit dan simpanan yang berbasis pada keanggotaan, namun khusus Pegadaian menawarkan pinjaman dengan sistem gadai. Sesuai dengan penggolongannya, sebagian besar platform operasional lembaga ini bersifat semiformal, artinya mengadopsi kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh pemerintah, namun dalam membangun hubungan dengan nasabah atau anggotanya cenderung menggunakan cara-cara yang bersifat informal.

Informal microfinance berbagai macam bentuk kelembagaan dan kepemilikan dan metode yang digunakan. Hal ini dimungkinkan karena tidak ada regulasi khusus yang mengaturnya, mencakup Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), kelompok arisan, rentenir, dan lain-lain. Keunikan dari informal microfinance adalah menyediakan fasilitas kredit (cash atau non cash) yang didasarkan pada hubungan individu, kelompok dan jalinan bisnis. Untuk lembaga microfinance yang berbentuk LSM, pemberiaan kredit juga diikuti dengan program pemberdayaan dan asistensi non keuangan lainnya.

Prinsip-Prinsip Utama Microfinance
prinsip-prinsip utama microfinance yang telah di endorse oleh negara-negara G-8 dalam rangka penguatan microfinance untuk pengentasan kemiskinan sebagai salah satu tujuan MDG's (Millenium Development Goals).

1.     Masyarakat miskin membutuhkan aneka ragam jasa keuangan, tidak hanya pinjaman.
Sebagaimana halnya dengan banyak orang lainnya, orang miskin juga membutuhkan bermacam-macam jasa keuangan yang nyaman, fleksibel, dan penetapan harga yang wajar. Tergantung keadaan mereka, orang miskin tidak saja membutuhkan kredit, tetapi juga tabungan, transfer uang, dan asuransi.

2.     Keuangan mikro adalah instrumen yang berdaya guna untuk melawan kemiskinan.
Akses terhadap jasa keuangan berkelanjutan memungkinkan masyarakat miskin meningkatkan pendapatan,meningkatkan aset, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap goncangan eksternal. Keuangan mikro memungkinkan rumahtangga berpendapatan rendah untuk beralih dari sekedar perjuangan untuk bertahan hidup dari hari ke hari menuju perencanaan masa depan, investasi untuk gizi yang lebih baik, peningkatan kondisi kehidupan, serta peningkatan kesehatan dan pendidikan anak-anak.

3.     Keuangan mikro artinya membangun sistem keuangan untuk melayani masyarakat miskin.
Orang miskin merupakan mayoritas luas dari penduduk di kebanyakan negara berkembang. Namun, orang miskin yang jumlahnya sangat besar terus kekurangan akses terhadap jasa keuangan mendasar. Dibanyak negara, keuangan mikro masih terus dipandang sebagai sektor marjinal dan terutama menjadi kepedulian pengembangan untuk lembaga donor, pemerintahan, dan investor dengan tanggung jawab sosial. Agar dapat mencapai potensi keuangan mikro secara penuh dalam menjangkau sejumlah besar orang miskin, keuangan mikro harus menjadi bagian yang utuh dari sektor keuangan.

4.     Keberlanjutan keuangan sangat diperlukan agar mampu menjangkau orang miskin dalam jumlah besar.
Kebanyakan orang miskin tidak bisa mengakses jasa keuangan karena kurangnya perantara keuangan yang kuat. Membangun lembaga keuangan yang berkelanjutan bukanlah tujuan akhir itu sendiri. Lembaga keuangan yang berkelanjutan merupakan satu-satunya cara untuk menjangkau orang miskin dalam skala dan dampak yang lebih berarti melampaui apa saja yang sanggup didanai oleh lembaga donor. Berkelanjutan adalah kemampuan penyedia keuangan mikro untuk menutupi seluruh biaya yang diperlukan. Kemampuan ini memungkinkan keberlanjutan operasional penyedia keuangan mikro dan penyediaan jasa keuangan yang terus menerus bagi masyarakat miskin. Mencapai keberlanjutan keuangan artinya mengurangi biaya-biaya transaksi, menawarkan produk dan jasa lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, dan menemukan cara-cara baru untuk menjangkau masyarakat miskin yang belum mendapatkan pelayanan dari bank.

5.     Keuangan mikro itu mengenai pembangunan lembaga keuangan lokal yang permanen.
Pembangunan sistem keuangan bagi masyarakat miskin artinya pengembangan perantara keuangan domestik yang sehat yang dapat menyediakan jasa keuangan untuk orang miskin secara tetap. Lembaga perantara tersebut harus mampu memobilisasi dan mendaur ulang tabungan domestik, menyalurkan kredit, dan menyediakan beragam pelayanan. Ketergantungan pada pendanaan dari donor dan pemerintah – termasuk bank pembangunan yang dibiayai pemerintah – berangsur-angsur akan berkurang ketika berbagai lembaga keuangan lokal dan pasar modal swasta beranjak dewasa.

6.     Kredit mikro tidak selau merupakan jawaban. Kredit mikro tidak sesuai bagi setiap orang atau setiap situasi.
Orang melarat dan lapar yang tidak memiliki pendapatan atau uang untuk
mengembalikan pinjaman, membutuhkan bentuk bantuan lain sebelum mereka dapat memanfaatkan pinjaman. Dalam banyak hal, hibah dalam jumlah kecil, peningkatan infrastruktur, program lapangan kerja dan pelatihan, dan jasa bukan keuangan lainnya mungkin adalah alat yang lebih sesuai bagi pengentasan kemiskinan. Dimana memungkinkan, jasa bukan keuangan seperti itu harus digabungkan dengan membangun tabungan.

7.     Pembatasan suku bunga bisa merugikan akses masyarakat miskin terhadap jasa keuangan.
Biayanya lebih besar jika memberikan banyak pinjaman kecil daripada memberikan beberapa pinjaman besar. Kecuali para penyalur kredit mikro dapat membebankan suku bunga jauh diatas rata-rata suku bunga pinjaman bank, mereka tidak akan mampu menutupi biaya mereka, dan pertumbuhan serta kesinambungan mereka akan terbatas karena pasokan pendanaan bersubsidi yang langka dan tak menentu. Ketika pemerintahan mengatur tingkat suku bunga, mereka biasanya menetapkannya pada tingkat yang terlampau rendah untuk memungkinkan kredit mikro berkelanjutan. Pada saat yang sama, para penyalur kredit mikro tak seharusnya meneruskan operasional yang tidak efisien kepada para pelanggan dalam bentuk harga (tingkat suku bunga dan provisi lainnya) yang jauh lebih tinggi dari semestinya.

8.     Peran pemerintah adalah sebagai pemberi kemudahan, bukan sebagai penyedia jasa keuangan secara langsung.
Pemerintahan nasional memainkan peran penting dalam membentuk lingkungan kebijakan yang mendukung yang mendorong pengembangan jasa keuangan serta melindungi tabungan masyarakat miskin. Langkah-langkah kunci yang bisa ditempuh sebuah pemerintah untuk keuangan mikro adalah mempertahankan stabilitas keuangan makro, menghindari penetapan ambang batas suku bunga, dan menahan diri dari mengubah kondisi pasar dengan berbagai program pinjaman bersubsidi yang rawan akan tunggakan dan tak berkelanjutan. Pemerintah juga dapat mendukung penyediaan jasa keuangan untuk masyarakat miskin dengan menyempurnakan lingkungan bisnis bagi para pengusaha, membasmi korupsi, dan memperbaiki akses pasar dan infrastruktur. Dalam beberapa situasi istimewa, pendanaan dari pemerintah untuk lembaga-lembaga keuangan mikro yang sehat dan independen bisa dibenarkan manakala dana lainnya tidak tersedia.

9.     Subsidi donor harus bersifat melengkapi, tidak bersaing dengan modal sektor swasta.
Para donor harus memanfaatkan penyediaan hibah, pinjaman dan perlengkapan modal yang tepat untuk sementara waktu bagi membangun kapasitas kelembagaan para penyedia jasa keuangan, mengembangkan infrastruktur pendukung (seperti lembaga penilaian, biro kredit, kapasitas audit,dll.), dan mendukung berbagai jasa dan produk percobaan. Dalam beberapa kasus, subsidi donor jangka panjang mungkin dibutuhkan untuk menjangkau sejumlah wilayah dengan jumlah penduduk sedikit dan sukar didatangi. Untuk menjadi efektif, pendanaan donor harus berupaya mengintegrasikan jasa keuangan bagi masyarakat miskin kedalam pasar keuangan setempat; menerapkan keahlian khusus pada perancangan dan pelaksanaan proyek; mempersyaratkan lembaga keuangan serta mitra lainnya memenuhi ukuran kinerja minimum sebagai syarat untuk kelangsungan dukungan; dan merencanakan jalan keluar sejak awal.

10.   Kurangnya kemampuan kelembagaan dan manusia adalah kendala kunci.
Keuangan mikro merupakan sebuah bidang khusus yang menggabungkan perbankan dengan tujuan sosial, dan kapasitas perlu dikembangkan pada semua tingkatan, mulai dari berbagai lembaga keuangan sampai badan pembuat kebijakan dan pengawasan serta sistem informasi, hingga instansi-instansi pengembangan pemerintah dan donor. Kebanyakan investasi didalam sektor keuangan, baik publik maupun swasta, harus memusatkan perhatian kepada pengembangan kapasitas ini.

11.   Pentingnya transparansi keuangan dan jangkauan.
Informasi yang akurat, standar, dan informasi kinerja keuangan dan sosial yang dapat diperbandingkan dari lembaga-lembaga keuangan yang menyediakan pelayanan untuk orang miskin adalah sangat penting. Badan pengawas dan penyusun peraturan bank, donor, investor, dan lebih penting lagi, masyarakat miskin yang merupakan para pelanggan keuangan mikro membutuhkan informasi ini agar dapat menilai risiko dan hasilnya secara memadai.

Kesimpulan :
Definisi  mengenai microfinance, dapat disimpulkan bahwa semuanya mengkaitkan microfinance dengan kegiatan pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin (the poors) yang mempunyai keterbatasan akses ketika berhubungan dengan lembaga keuangan formal.
Microfinance sudah menjadi sebuah media untuk membantu orang-orang miskin dalam meningkatkan mata pencaharian mereka melalui lowongan kerja pada sektor yang berbeda. Menyediakan kredit terutama untuk kaum miskin dengan cara yang dapat dipercaya dan dengan harga yang bersaing, dipertimbangkan sebagai sebuah strategi yang penting untuk mengurangi kemiskinan.
sumber : 
http://rinimarjani.blogspot.com/2012/05/microfinance.html