PENGERTIAN
MICROFINANCE
Microfinance berasal
dari kata "micro" yang berarti micro enterprises (usaha mikro /usaha
kecil) dan "finance" yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti
"pembiayaan". dari kedua istilah tersebut dapat diartikan bahwa microfinance
berarti pembiayaan untuk usaha mikro. Usaha mikro banyak yang mengartikannya,
menurut penulis usaha mikro adalah suatu bisnis yang dijalankan dengan skala
mikro. skala mikro adalah mereka yang memiliki usaha dengan volume usaha
(omset) tidak lebih dari Rp. 100juta pertahun dan modal kerja yang dimiliki
tidak lebih dari Rp.25juta, dengan penghasilan tidak lebih dari $2 perhari.
ciri-ciri yang lain adalah biasanya tidak memiliki legalitas usaha, sehingga
tidak terakses oleh BANK.
Microfinance merupakan
salah industri keuangan baru yang tumbuh pesat dalam kurun waktu satu dekade
terakhir. Pada awalnya di era tahun 1960-an, microfinance termasuk bagian dari
program pembangunan yang menyalurkan kredit bersubsidi untuk menunjang
pembangunan pertanian, penanggulangan kelaparan dan kemiskinan di wilayah
pedesaan khususnya di negara-negara berkembang. Kini microfinance telah menjadi
suatu sistem intermediasi keuangan yang terintegrasi dengan sektor keuangan
modern.
Apa itu Microfinance?
Microfinance merupakan
pembiayaan dengan skala mikro. Makna mikro dalam dalam konteks ini berkaitan
dengan nilai transaksi dan kapasitas keuangan nasabah yang umumnya masuk ke
dalam kategori miskin seperti yang dirumuskan oleh UNCDF, CGAP dan ADB “microfinance
refers to loans, savings, insurance, transfer services and other financial
products targeted at low-income clients”. Sedangkan difinisi yang lebih
rinci dirumuskan oleh Marguerite Robinson dalam bukunya yang cukup fenomenal The
Microfinance Revolution Volume I & II yakni “microfinance is small-scale
financial services provided to people who farm or fish or herd; who operate
small or microenterprises where goods are produced, recycled, repaired, or
traded; who provide services; who work for wages or commissions; who gain
income from renting out small amounts of land, vehicles, draft animals, or
machinery and tools; and to other individuals and groups at the local levels of
developing countries, both rural and urban”.
Dari berbagai pengertian tersebut di atas bahwa microfinance mengandung tiga elemen utama yang membedakannya dengan sistem intermediasi keuangan lainnya seperti perbankan yaitu:
1. Batasan transaksi
Nilai transaksi microfinance
tidak bersifat universal artinya tidak ada konvensi internasional yang
menetapkan nilai transaksi yang masuk kategori kecil atau mikro. Di Indonesia,
nilai transaksi microfinance hanya dirumuskan pada batasan kredit mikro saja
yakni maksimum Rp50 juta. Sedangkan untuk transaksi keuangan lainnya seperti
simpanan, asuransi, remittance, sistem pembayaran tidak ada pengaturan yang
jelas.
2. Segment Pasar
Microfinance memiliki
keunikan dalam melayani masyarakat yakni terfokus pada masyarakat miskin yang
terbagi menjadi empat kelompok:
Kelompok I yakni the
poorest of the poor. Penduduk miskin yang tidak memiliki sumber pendapatan
karena faktor usia, sakit, cacat fisik sehingga tidak memiliki pendapatan.
Kelompok II yaitu
labouring poor. Kelompok miskin yang bekerja sebagai buruh dengan penghasilan
sangat terbatas dan bersifat tidak tetap atau musiman yang umumnya bekerja di
sektor pertanian atau sektor-sektor lain yang bersifat padat karya.
Kelompok III adalah
self-employed poor. Merupakan penduduk miskin yang berpenghasilan relatif cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dengan bekerja di sektor informal.
Kelompok IV ialah
enconomically active poor. Golongan yang telah memiliki kekuatan ekonomi dengan
sumber pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dan
memiliki surplus income.
3. Tujuan
State of practice microfinance
sekarang tidak terlepas dari sejarah kelahirannya yaitu untuk menanggulangi
masalah-masalah yang berkaitan dengan kemiskinan. Selanjutnya pengembangan microfinance
menjadi salah satu agenda untuk mencapai The Millennium Development Goals untuk
mengurangi jumlah penduduk dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. Hal ini
kemudian diperkuat dengan Resolusi PBB No.A/58/488 tentang the International
Year of Microcredit 2005 yang mendorong microfinance sebagai sektor keuangan
yang inklusif.
Mengapa Microfinance?
Ketersediaan sumber
daya finansial yang cukup pada saat yang tepat merupakan salah satu faktor
penting bagi individu atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akan
tetapi kondisi ideal tersebut hampir tidak mungkin terjadi pada masyarakat
miskin karena terbatasnya resource sehingga memerlukan adanya intervensi
keuangan untuk menutup gap yang ada. Ada lima pola intervensi microfinanc, misalnya
dalam pembiyaan yakni:
1. Income smoothing
Menutup kebutuhan
keuangan karena adanya gap antara pendapatan dan pengeluaran karena faktor
musim atau siklus upahan. Umumnya petani membutuhkan dana pada masa tanam untuk
membeli sarana produksi dan memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga. Hal yang
sama juga terjadi pada para pekerja atau buruh yang menerima upah secara
berkala.
2. Cash flow injection
Mengatasi aliran kas
(terjadi kesenjangan antara aktiva lancar dan pasiva lancar) yang terutama bagi
usaha mikro yang menerapkan sistem pembayaran kredit atau karena ada kebutuhan
strategis misalnya untuk memenuhi kontrak bisnis yang bersifat sesaat.
3. Emergency relief
Merupakan asistensi
keuangan untuk mengatasi kebutuhan mendadak karena adanya musibah keluarga,
sakit dan bencana alam, kehilangan pekerjaan, biaya pendidikan dan kebutuhan
jangka pendek lainnya karena umumnya masyarakat miskin tidak memiliki tabungan
atau asuransi.
4. Asset building
Menyediakan dana yang
bersifat jangka panjang untuk membeli aktiva tetap (peralatan rumah tangga),
kendaraan, hewan ternak, properti , dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomi
tinggi atau dapat dikonversikan kembali menjadi uang.
Secara empiris,
efektivitas dari intervensi microfinance memberikan dampak yang positif
terhadap rumah tangga. Secara umum mekanisme dampak tersebut dapat dijelaskan
dan digambarkan sebagai berikut:
Pertama, akses keuangan yang berkelanjutan merupakan faktor produksi penting dalam kegiatan ekonomi masyarakat miskin yang dalam hal ini menghasilkan double impact yaitu pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Adanya pendapatan yang stabil akan mempermudah untuk mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari, pakaian, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan tempat tinggal yang layak, kendaraan, barang berharga, dan sebagainya. Dalam jangka panjang, akan mendorong terbentuknya rumah tangga yang mandiri dan sejahtera.
Kedua, adanya jaminan pembiayaan mendorong pengusaha mikro mengambil keputusan bisnis jangka panjang dan melakukan investasi yang menguntungkan.
Kehadiran lembaga microfinance akan meningkatkan awareness dan mendorong masyarakat miskin menggunakan instrumen moneter seperti tabungan, sistem pembayaran, transfer uang dan asuransi sehingga meningkatkan likuiditas dan dinamika ekonomi lokal.
Ketiga, efektivitas intervensi microfinance yang dijelaskan sebelumnya telah mendorong berbagai inisiatif mengembangkan produk dan jasa keuangan lainnya untuk melayani masyarakat miskin, antara lain housing microfinance.
Siapa Microfinance?
Lembaga yang mengelola
program microfinance dapat bersifat formal, semi formal dan informal. Sedangkan
mekanisme intermediasi microfinance dikelompokkan menjadi dua pendekatan yakni minimalist
yang mengadopsi sistem perbankan dan integrated menggunakan kombinasi antara
intermediasi keuangan dan intermediasi sosial dalam rangka pemberdayaan
masyarakat. Eksistensi microfinance di lingkungan masyarakat miskin cukup mengakar
yang tercermin dari banyaknya jumlah nasabah dan cakupan jaringan kerja. Data
yang dihimpun dari berbagai sumber memperlihatkan bahwa jaringan microfinance
telah mencapai 55 ribu kantor yang menyalurkan pinjaman sebanyak Rp28 triliun
kepada sekitar 35 juta nasabah serta berhasil menghimpun dana sebesar Rp38
triliun yang tercatat dalam 36 juta rekening. Struktur microfinance Indonesia
dapat digolongkan menjadi tiga yaitu formal, semiformal dan informal.
Kelompok formal microfinance lembaga keuangan yang diatur oleh UU Perbankan, meliputi bank umum yang memiliki unit bisnis microfinance dan BPR. Saat ini ada tiga bank umum yang secara khusus memiliki eksposur di microfinance yakni BRI-Unit dengan sistem BRI-Unit, Bank Danamon yang mengembangkan Danamon Simpan Pinjam (DSP) dan Bank Mandiri melalui Microbanking Unit. Namun demikian, ada beberapa bank yang juga melayani pasar microfinance secara tidak langsung, misalnya melalui linkage program dengan BPR atau LKM. Lembaga formal microfinance melayani masyarakat miskin yang masuk dalam kelompok III dan IV dengan menawarkan produk dan jasa perbankan seperti kredit untuk berbagai keperluan, simpanan dalam bentuk giro, deposito dan tabungan, transfer uang, sistem pembayaran dan jasa keuangan lainnya. Namun untuk BPR diberlakukan batasan operasi antara lain tidak diperkenankan melayani produk giro karena tidak termasuk dalam sistem kliring perbankan dan melakukan transaksi valuta asing. Prinsip operasional dan pola interaksi dengan nasabah yang digunakan oleh kelompok ini cenderung bersifat formal dengan menerapkan prinsip-prinsip perbankan umum sehingga daya penetrasinya hanya terbatas pada nasabah yang bankable.
Semiformal microfinance adalah lembaga keuangan yang diatur oleh pemerintah melalui PP atau Perda. Bentuk dan sistem operasional kelompok ini cukup bervariasi seperti Perum Pegadaian, Badan Kredit Desa (BKD), Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan konsep koperasi, Lembaga Dana Dan Kredit Pedesaan (LDKP), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Kecamatan (BKK) dan Baitul Maal Wa’atamwil (BMT) dan LKM yang terdaftar lainnya. Pasar utama semiformal microfinance adalah penduduk miskin dengan kategori kelompok II dan III serta sebagian kecil yang masuk dalam kelompok IV. Produk keuangan yang ditawarkan adalah kredit dan simpanan yang berbasis pada keanggotaan, namun khusus Pegadaian menawarkan pinjaman dengan sistem gadai. Sesuai dengan penggolongannya, sebagian besar platform operasional lembaga ini bersifat semiformal, artinya mengadopsi kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh pemerintah, namun dalam membangun hubungan dengan nasabah atau anggotanya cenderung menggunakan cara-cara yang bersifat informal.
Informal microfinance berbagai macam bentuk kelembagaan dan kepemilikan dan metode yang digunakan. Hal ini dimungkinkan karena tidak ada regulasi khusus yang mengaturnya, mencakup Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), kelompok arisan, rentenir, dan lain-lain. Keunikan dari informal microfinance adalah menyediakan fasilitas kredit (cash atau non cash) yang didasarkan pada hubungan individu, kelompok dan jalinan bisnis. Untuk lembaga microfinance yang berbentuk LSM, pemberiaan kredit juga diikuti dengan program pemberdayaan dan asistensi non keuangan lainnya.
Prinsip-Prinsip Utama Microfinance
prinsip-prinsip utama
microfinance yang telah di endorse oleh negara-negara G-8 dalam rangka
penguatan microfinance untuk pengentasan kemiskinan sebagai salah satu tujuan
MDG's (Millenium Development Goals).
1. Masyarakat miskin membutuhkan aneka ragam jasa keuangan, tidak hanya pinjaman.
Sebagaimana halnya
dengan banyak orang lainnya, orang miskin juga membutuhkan bermacam-macam jasa
keuangan yang nyaman, fleksibel, dan penetapan harga yang wajar. Tergantung
keadaan mereka, orang miskin tidak saja membutuhkan kredit, tetapi juga
tabungan, transfer uang, dan asuransi.
2.
Keuangan mikro adalah instrumen yang berdaya guna untuk melawan kemiskinan.
Akses terhadap jasa
keuangan berkelanjutan memungkinkan masyarakat miskin meningkatkan
pendapatan,meningkatkan aset, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap
goncangan eksternal. Keuangan mikro memungkinkan rumahtangga berpendapatan
rendah untuk beralih dari sekedar perjuangan untuk bertahan hidup dari hari ke
hari menuju perencanaan masa depan, investasi untuk gizi yang lebih baik,
peningkatan kondisi kehidupan, serta peningkatan kesehatan dan pendidikan
anak-anak.
3.
Keuangan mikro artinya membangun sistem keuangan untuk melayani masyarakat
miskin.
Orang miskin merupakan
mayoritas luas dari penduduk di kebanyakan negara berkembang. Namun, orang
miskin yang jumlahnya sangat besar terus kekurangan akses terhadap jasa
keuangan mendasar. Dibanyak negara, keuangan mikro masih terus dipandang
sebagai sektor marjinal dan terutama menjadi kepedulian pengembangan untuk
lembaga donor, pemerintahan, dan investor dengan tanggung jawab sosial. Agar
dapat mencapai potensi keuangan mikro secara penuh dalam menjangkau sejumlah
besar orang miskin, keuangan mikro harus menjadi bagian yang utuh dari sektor
keuangan.
4.
Keberlanjutan keuangan sangat diperlukan agar mampu menjangkau orang miskin
dalam jumlah besar.
Kebanyakan orang miskin
tidak bisa mengakses jasa keuangan karena kurangnya perantara keuangan yang
kuat. Membangun lembaga keuangan yang berkelanjutan bukanlah tujuan akhir itu
sendiri. Lembaga keuangan yang berkelanjutan merupakan satu-satunya cara untuk
menjangkau orang miskin dalam skala dan dampak yang lebih berarti melampaui apa
saja yang sanggup didanai oleh lembaga donor. Berkelanjutan adalah kemampuan
penyedia keuangan mikro untuk menutupi seluruh biaya yang diperlukan. Kemampuan
ini memungkinkan keberlanjutan operasional penyedia keuangan mikro dan penyediaan
jasa keuangan yang terus menerus bagi masyarakat miskin. Mencapai keberlanjutan
keuangan artinya mengurangi biaya-biaya transaksi, menawarkan produk dan jasa
lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, dan menemukan cara-cara baru
untuk menjangkau masyarakat miskin yang belum mendapatkan pelayanan dari bank.
5.
Keuangan mikro itu mengenai pembangunan lembaga keuangan lokal yang permanen.
Pembangunan sistem
keuangan bagi masyarakat miskin artinya pengembangan perantara keuangan
domestik yang sehat yang dapat menyediakan jasa keuangan untuk orang miskin
secara tetap. Lembaga perantara tersebut harus mampu memobilisasi dan mendaur
ulang tabungan domestik, menyalurkan kredit, dan menyediakan beragam pelayanan.
Ketergantungan pada pendanaan dari donor dan pemerintah – termasuk bank
pembangunan yang dibiayai pemerintah – berangsur-angsur akan berkurang ketika
berbagai lembaga keuangan lokal dan pasar modal swasta beranjak dewasa.
6.
Kredit mikro tidak selau merupakan jawaban. Kredit mikro tidak sesuai bagi
setiap orang atau setiap situasi.
Orang melarat dan lapar
yang tidak memiliki pendapatan atau uang untuk
mengembalikan pinjaman, membutuhkan bentuk bantuan lain sebelum mereka dapat memanfaatkan pinjaman. Dalam banyak hal, hibah dalam jumlah kecil, peningkatan infrastruktur, program lapangan kerja dan pelatihan, dan jasa bukan keuangan lainnya mungkin adalah alat yang lebih sesuai bagi pengentasan kemiskinan. Dimana memungkinkan, jasa bukan keuangan seperti itu harus digabungkan dengan membangun tabungan.
mengembalikan pinjaman, membutuhkan bentuk bantuan lain sebelum mereka dapat memanfaatkan pinjaman. Dalam banyak hal, hibah dalam jumlah kecil, peningkatan infrastruktur, program lapangan kerja dan pelatihan, dan jasa bukan keuangan lainnya mungkin adalah alat yang lebih sesuai bagi pengentasan kemiskinan. Dimana memungkinkan, jasa bukan keuangan seperti itu harus digabungkan dengan membangun tabungan.
7.
Pembatasan suku bunga bisa merugikan akses masyarakat miskin terhadap jasa
keuangan.
Biayanya lebih besar
jika memberikan banyak pinjaman kecil daripada memberikan beberapa pinjaman
besar. Kecuali para penyalur kredit mikro dapat membebankan suku bunga jauh
diatas rata-rata suku bunga pinjaman bank, mereka tidak akan mampu menutupi
biaya mereka, dan pertumbuhan serta kesinambungan mereka akan terbatas karena
pasokan pendanaan bersubsidi yang langka dan tak menentu. Ketika pemerintahan
mengatur tingkat suku bunga, mereka biasanya menetapkannya pada tingkat yang
terlampau rendah untuk memungkinkan kredit mikro berkelanjutan. Pada saat yang
sama, para penyalur kredit mikro tak seharusnya meneruskan operasional yang
tidak efisien kepada para pelanggan dalam bentuk harga (tingkat suku bunga dan
provisi lainnya) yang jauh lebih tinggi dari semestinya.
8.
Peran pemerintah adalah sebagai pemberi kemudahan, bukan sebagai penyedia jasa
keuangan secara langsung.
Pemerintahan nasional
memainkan peran penting dalam membentuk lingkungan kebijakan yang mendukung
yang mendorong pengembangan jasa keuangan serta melindungi tabungan masyarakat
miskin. Langkah-langkah kunci yang bisa ditempuh sebuah pemerintah untuk
keuangan mikro adalah mempertahankan stabilitas keuangan makro, menghindari
penetapan ambang batas suku bunga, dan menahan diri dari mengubah kondisi pasar
dengan berbagai program pinjaman bersubsidi yang rawan akan tunggakan dan tak
berkelanjutan. Pemerintah juga dapat mendukung penyediaan jasa keuangan untuk
masyarakat miskin dengan menyempurnakan lingkungan bisnis bagi para pengusaha,
membasmi korupsi, dan memperbaiki akses pasar dan infrastruktur. Dalam beberapa
situasi istimewa, pendanaan dari pemerintah untuk lembaga-lembaga keuangan
mikro yang sehat dan independen bisa dibenarkan manakala dana lainnya tidak
tersedia.
9.
Subsidi donor harus bersifat melengkapi, tidak bersaing dengan modal sektor
swasta.
Para donor harus
memanfaatkan penyediaan hibah, pinjaman dan perlengkapan modal yang tepat untuk
sementara waktu bagi membangun kapasitas kelembagaan para penyedia jasa
keuangan, mengembangkan infrastruktur pendukung (seperti lembaga penilaian,
biro kredit, kapasitas audit,dll.), dan mendukung berbagai jasa dan produk
percobaan. Dalam beberapa kasus, subsidi donor jangka panjang mungkin
dibutuhkan untuk menjangkau sejumlah wilayah dengan jumlah penduduk sedikit dan
sukar didatangi. Untuk menjadi efektif, pendanaan donor harus berupaya
mengintegrasikan jasa keuangan bagi masyarakat miskin kedalam pasar keuangan
setempat; menerapkan keahlian khusus pada perancangan dan pelaksanaan proyek;
mempersyaratkan lembaga keuangan serta mitra lainnya memenuhi ukuran kinerja
minimum sebagai syarat untuk kelangsungan dukungan; dan merencanakan jalan
keluar sejak awal.
10. Kurangnya
kemampuan kelembagaan dan manusia adalah kendala kunci.
Keuangan mikro
merupakan sebuah bidang khusus yang menggabungkan perbankan dengan tujuan
sosial, dan kapasitas perlu dikembangkan pada semua tingkatan, mulai dari
berbagai lembaga keuangan sampai badan pembuat kebijakan dan pengawasan serta
sistem informasi, hingga instansi-instansi pengembangan pemerintah dan donor.
Kebanyakan investasi didalam sektor keuangan, baik publik maupun swasta, harus
memusatkan perhatian kepada pengembangan kapasitas ini.
11. Pentingnya
transparansi keuangan dan jangkauan.
Informasi yang akurat,
standar, dan informasi kinerja keuangan dan sosial yang dapat diperbandingkan
dari lembaga-lembaga keuangan yang menyediakan pelayanan untuk orang miskin
adalah sangat penting. Badan pengawas dan penyusun peraturan bank, donor,
investor, dan lebih penting lagi, masyarakat miskin yang merupakan para
pelanggan keuangan mikro membutuhkan informasi ini agar dapat menilai risiko
dan hasilnya secara memadai.
Kesimpulan :
Definisi mengenai
microfinance, dapat disimpulkan bahwa semuanya mengkaitkan microfinance dengan
kegiatan pelayanan keuangan bagi masyarakat miskin (the poors) yang mempunyai
keterbatasan akses ketika berhubungan dengan lembaga keuangan formal.
Microfinance sudah
menjadi sebuah media untuk membantu orang-orang miskin dalam meningkatkan mata
pencaharian mereka melalui lowongan kerja pada sektor yang berbeda. Menyediakan
kredit terutama untuk kaum miskin dengan cara yang dapat dipercaya dan dengan
harga yang bersaing, dipertimbangkan sebagai sebuah strategi yang penting untuk
mengurangi kemiskinan.
sumber :
http://rinimarjani.blogspot.com/2012/05/microfinance.html
http://rinimarjani.blogspot.com/2012/05/microfinance.html